KONSEP IBN TAIMIYAH TENTANG AL-QURAN, TAFSIR DAN TAKWIL

 

A.    LATAR BELAKANG
Penurunan al-Quran secara mutawatir[1] sekaligus petunjuk bagi kehidupan manusia  telah membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Keautentikannya selalu terjaga oleh Yang MahaRohman dengan tidak adanya tagyir,tazyd maupun taqsir[2]telah mampu menggelitikfikiran manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendaki Allah dan berkonsekuensi agar dapat memahami maksud-maksud Allah yang tertuang dalam Kitab Suci al-Qur’an. Upaya-upaya memahami maksud firman-firman Allah inilah yang kemudian disebut dengan tafsir.[3]
Sepanjang sejarah manusia, pemikiran-pemikiran al-Quran, Tafsir dan Ta’wil telah dikenal sejak proses tanzilul al-Quran itu sendiri. Dan di sini Rasulullah sendiri adalah mufassir pertama yang kemudian dilanjutkan dengan sahabat-sahabat berikutnya. Pemikiran pemikiran beliau dalam memahami al-Quran serta tafsiran dan penakwilannya bener bener mengembalikan fitrah manusia berada jalan pada yang diingikan Allah. Dengan demikian, sejarah penafsiran al-Quran sudah dimulai seiring dengan lahirlnya Islam itu sendiri. Sebagai pembawa risalah, maka Nabi Muahmmad Saw harus faham dan mengerti terlebih dahulu atas pesan wahyu yang harus disampaikan kepada umatnya, ketika sasaran wahyu (umat) menghadapi kesulitan tertentu dalam memahami teks wahyu, pasti mereka akan menanyakan langsung isi pesannya kepada Nabi sebagai intergralator dari tugas risalah.
Dalam konteks ini, kita bisa mengelompokkan ada tiga unsur terpenting yang menjadi pelaku utama dalam konteks Tafsir sebagai penjelas. Pertama adalah Allah sendiri sebagai pemilik kalam, kedua Nabi Muhammad sebagai utusan, dan yang ketigaadalah manusia itu sendiri sebagai sasaran penurunan al-Quran[4]. Pemahaman al-Quran yang sebenar-benarnya sudah barang tentu Allahlah yang Maha Tahu seluk-beluk serta rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Dia adalah penafsir utama dan terutama yang lebih mengetahui apa yang diinginkan. Keinginan tersebut kemudian di sampaikan melalui dogma-dogma dalam bentuk bahasa arab agar manusia mengetahui hakikat keinginan tersebut walau pemahaman di antara manusia sendiri masih terdapat banyak kekurangan yang saling bertentangan antar sesama. Sebagai konsekuensi logis dari realita jati diri manusia yang penuh dengan kekurangan, maka di utuslah seorang utusan yang disebut dengan Nabi sebagai pentunjuk awal dalam memahami keinginan Allah melalui teks-teks al-Quran tersebut. Penugasan utusan Allah ini dimaksudkan agar manusia memiliki paradigma sekaligus sebagai landasan pemikiran generasi penerus. Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan disebutlah Rasulullah sebagai penafsir pertama mengenai apa yang ada dalam al-Quran tersebut. Namun perlu dicatat, penafsiran Rasulullah ini, tidak bermaksud memasung sahabat sahabatnya berfikir statis, melainkan rasulullah memberikan arahan serta bimbingan baik dalam bentuk hadis Qudsi, Qauli, Fi’li bahkanm Tajriri-nya. Dan karna memang begitulah al-Quran yang amat terbuka bagi siapa saja yang membacanya sebagai rohmah sekalian alam.
Terhitung sejak wafatnya Beliau, perbedaan penafsiran pun mulai bermunculan seiring dengan kafasitas yang dimiliki mufassir sampai pada akhirnya memasuki abad pertengahan. Kemunculan doktrin-doktrin libralisme dengan dalih islam progresif pun ikut mewarnai abad ini, yang kemudian sangat menaruh influintik besar di dada muslim. Perbedaan antara yang sakral dan profan pun hampir pupus dengan rambu-rambu libralisme. Disamping itu, hegemonisasi aliran semakin menguat dan memerah hingga bergeser pada perbedaan epistemologi tafsir. Realita ini pun mengakibatkan bangkitnya pemikiran pemikiran revivalis terhadap ajaran keislaman. Karna menurut penganut revivalis ini, manusia tidak akan pernah mendapatkan kemajuan yang hakiki, kecuali kemauan untuk kembali kepada risalah kenabian. Gerakan revivalis inipun kemudian berusaha menenun kembali benang-benang utama sebagai pembatas dalam memahami ajaran Islam. Batasan-batasan ini dimulai dari sumber ajaran itu sendiri yaitu al-Quran dengan melakukan penafsiran apa adanya sesuai dengan penafsiran Nabi dan para sahabat. Dan dalam hal ini adalah Syaikhul Islam ibn at-Taimiyah (1263-1328 M), yang oleh aliran Wahabi menyebutnya sebagai Syaikh al-Hujjatul Islam.
Memandang perlu bahwa penafsiran serta pentakwilan tetap dilakukan, terlebih lagi dengan tingkat pemahaman manusia yang cenderung berbeda, maka penulis bermaksud untuk menjelaskan bagaimana pemikiran Ibn Taimiyah dalam memahami al-Quran serta tafsiran dan takwilannnya untuk kemudian dijadikan sebagai bahan perbandingan dengan konsep- konsep yang ada dari para pemikir lainnya.
B.     RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang penulis maksud adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana konsep al-Quran menurut Ibn Taimiyah?
2.      Bagaimana konsep Tafsir menurut Ibn Taimiyah?
3.      Bagaimana konsep Ta’wil menurut Ibn Taimiyah?
C.    TUJUAN DAN KEGUNAAN
Tujuan-tujuan yang dimaksud adalah ingin mengetahui bagaimana konsep ibn Taimiyah mengenai al-Quran, Tafsir dan Ta’wil. Kesemuanya ini diarahkan pada pengenalan diri penulis terhadap konsep-konsep ibn Taimiyah mengenai al-Quran, Tafsir dan Ta’wil sekaligus sebagai kontribusi penulis. Disamping itu, sebagai kahzanah ilmu pengetahuan bagi para penulis berikutnya yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai pemikiran ibn Taimiyah tentang al-Quran, Tafsir dan Ta’wil.
D.    METODOLOGI
Memandang bahwa,  metodelogi merupakan “Ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh dalam mencari tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien”.[5] Dengan demikian, Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah Deskriptifi-analaitik. Dimana  deskriptif itu sendiri diartikan kepada suatu yang bersifat menggambarkan, menguraikan satu hal menurut apa adanya.[6] Sedangkan analisis berarti menjelaskan data data yang sudah terdeskrifsikan secara mendetail.  Kemudian barulah menyimpulkan kehendak deskrifsi yang sudah teranalisis.
E.     KEPUSTAKAAN
Untuk memudahkan penulis dalam menemukan data, maka penulis menggunakan dua sumber yaitu primer dan skunder. Primer itu sendiri merujuk pada kitab karya ibn Taimiyah, baik dalam bentuk asli maupun terjemahannya. Adapun sekunder merujuk pada buku-buku, serta tulisan lainya yang mencakup pembahasan pemikiran ibn Taimiyah.
F.     PROFIL IBN TAIMIYAH
  1. Pertalian Darah Keturunan
Dalam catatan sejarah, nasab ibn Taimiyah terbilang cukup panjang yang nama lengkaplnya adalah Taqiyuddin Abu Abbas bin Syihabuddin abi Mahasin abd Halim bin Mujiddin abi Barakat Abdus Salam bin abi Muhammad Abdullah bin Abi Qasim al-Khudri bin Ali bin Abdulla ibn Muhammad ibn Taimiyyah[7]. Beliau oleh para pengikutnya menyebut sebagai Imam tauladan, ilmuan dan penyeru ajaran Muhammad serta Mujahid Besar. Kepopulerannya menjadikan ia terkenal dengan sebutan ibn Taimiyyah serta telah mampu membawa perubahan dengan konsep revivalisnya.
  1. Kelahiran dan Pendidikan
Kelahiran seorang diri ibn Taimiyah dipastikan lahir pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awwal 661 H / 22 Januari 1263 M di Harran[8] dekat Damascus Syiria dan meninggal dunia tanggal 20 Dzulqaidah 727 H / 26 September 1328 M[9]. Beliau berhijrah ke Damaskus (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.  Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta`ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat.
Kepandaian ibn Taimiyah merupakan karunia yang terbesar yang diberikan Allah pada dirinya. Kecerdasan yang dimiliki telah mampu membuat dirinya hafal al-Quran dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun. Hal ini tidak aneh karna beliau memang dibesarkan di tengah-tengah kehidupan para ulama’ ‘Ulama’ besar. Sehingga dalam kurun waktu belasan tahun Ia pun telah menguasai ilmu-ilmu usuludin serta bdang bidang tafsir lainya, hadis, bahasa dan sastra serta akidah[10]. Disamping itu, kitab-kitab musnad pun sudah mulai dikaji dengan baik terutama Musnad Imam Hambal, kemudian kitab al-Sittahdan Mu’jam al-Thabarani al-Kabir.
Kecerdasan yang dimiliki Ibn Taimiyah telah mampu menggiurkan pihak pembesar Ulama’ Damaskus dan berkeinginan untuk mengunjungi bocah kecil itu. Akhirnya setelah bertemu, Ulama itu pun menguji kafsihan ibn Taimiyah dan Ia pun melihat cahaya fasih dan kejelasan serta kepandaian dalam berhujjah, Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia[11]. Bahkan pada sebelumnya di usia 17 tahun sudah ditawarkan menjadi mufti akan tetapi ibn Taimiyah menolaknya. Bahkan Beliau pernah berkata :
” Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku “.
Kesungguhan beliau pada disiplin ilmu terus berlanjut sampai pada akhirnya beliau beranjak dewasa. Tepatnya pada usia yang ke 22 Ia menggatikan ayahnya menjadi guru hadis di berbagai madrasah terkemuka di kota Damaskus serta memberikan pelajaran tafsir. Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha` dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.
  1. Karir dan Karya
Sejak muda ibn Taimiyah ia sudah menjadi Dai terkemuka di masanya dan dihapan lawan politiknya. Beliau terkenal dengan ketabahannya dalam menghadapi masalah, wara`, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedangnya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.  Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sangat luar biasa, tidak hanya di lapangan ahli ilmu pengetahuan saja ia terkenal, ia juga pernah memimpin sebuah pasukan untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299 Masehi dan beliau mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari 1313, beliau juga bertempur di kota Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan sesudah karirnya itu, beliau tetap mengajar sebagai profesor yang ulung. beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa. Ibn Taimiyah dengan semangat revivalisnya berusaha mengkikis habis dengan nalar kritiknya dengan berusaha mengembalikan nilai keislaman[12]. Ia mengkritik beberapa pemikir fikih, tasawuf, serta mazhab mazhab aliran logika lainya. Ketegasan dan sikap keras yang dimilikinya membuat dirinya keluar-masuk penjara. Akan tetapi hal itu tidak membuat ia jera dari da’wahnya, malah semakin kuat dan besemangat[13]. Dan pada akhirnya sikap ketegasan ibn Taimiyah ini memiliki pengaruh besar bagi pembaharu-pembaharu berikutnya seperti Syaikh Waliyullah, Abd Wahhab, Abduh dan Ridha dll.
Ketekunan Beliau dalam bidang ilmu, membuat ia semakin semakin terkenal dan produktif bahkan mencapai hingga kurang lebih mencapai 4 ribu naskah, yang mencapai 300 jilid, bahkan ada yang mengatakan sampai 500 jilid[14]. Kitabnya yang populer adalah Ar-Radd alal Manthiqiyyin (kontra Terhadap Kelompok Logika) merupakan salah satu dari karyanya yang terkenal. Bahkan seandainya hanya kitab ini saja yang lahir dari karyanya, niscaya sudah cukup untuk mengangkatnya sebagai ulama besar dan pemikir. Sebab, kitab tersebut berpengaruh luas hingga kepada generasi sesudahnya.
Beberapa karya yang bisa kita himpun melalui sumber yang ada diantaranya:
a)      Tafsir : 1). Tafsir Ibn Taimiyah[Bombay,1954], 2). Tafsir Sirah al-Ikhlash[1324], 3).Tafsir Surah al-Kautsar [1334], 4). Muqaddimah fi Usulit Tafsir, dll
b)      Akidah : 1). Al-‘Aqidah al-Hamawiyah al-Kubra, Berlin 1996, 2). Bayanul Mujmal ’an Ahlil Jannah wan Nar, 3). Al-Jawabusssalih Liman Baddala Diinil Masih [1322-1325], 4). Kitabun Nubuwwah [1346], 5). Al-Karamul Haqiqah al-Islam wal Iman [1917],6). Ma’arijul Wusul Ila anna Furu’iddi wa Usuliha Mimma Bayyanahu al-Rasul, 7).Risalatun fil Qada’ wal Qadar, 8). Risalatul Jihad, 9). al-Sarim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul [1322], 10). Yajibu lillah min Sifat al-Kamal, 11). Al-Wasiitun Bainal Khalaq wal Haqq, [Berlin 1944], dll.
c)      Hadits : 1). Arba’un Haditsan Riwayah ibn Taimiyah [1341], 2). Al-‘Abdul ‘Awali, 3).Risalatun fi Syarhil Hadits Abu Zar [1324]
d)     Fiqih : 1). Majmu’r Rasail Kubra,II,[1323], 2). Majmu’ul Fatawa V[1326], 3).Jawami’ul Kalim at-Tayyibun fil ‘Adiyyah waz-Zikr[1326], 4). Majmu’ur Rasail Ibn Taimiyah [1323], 5). Al-Masailul Fiqhiyyah, 6). Al-Mazhabul Wadih fil Mas’alatil Jawaiz,7). Qoidatul Jalilah fit Tawassul wal Wasilah[1348], 8). Al-Qiyas bisysyar al-Islam [1346],9). Qaidatun fil ‘Ibadah [1895], 10). Ar-Risalatul Washitiyyah [1346], 11). Risalatun Fis Sunnah al-Jumuah, dll
e)      Tasawuf : 1). Risalatun Fissuluk, 2). Qaidatun fis Sabri, 3). Qaidatun fir Raddin ‘alal Gazali fi Mas’alatit Tawakkul, 4). As-Sufiyyah wal Fuqara’, dll
f)       Filsafat :1). Ar-Raddu ‘ala Falsafah ibn Rusyd al-Hafidi,[1328], 2). Nasihatul Imam fi Raddi ‘Alal Mantiqil yunan, dll
g)      Politik : 1). as-Siyaysatusy-Syariah fil Islahir Ra’I war Ra’iyyah, 2). Al-Hisbah fil Islam, 3). Minhajussunnah an-Nabawiyah fi Naqdil Kalam as-Syiah wall Qadariyyah, 4).Al-Ikhtiyarat al-Islamiyah, dll.
Selain kitab-kitab yang disebut di atas, sebenarnya masih banyak yang barang kali belum sampai pada kita baik dalam bentuk naskah pencaran ataupun terbukukan. Namun kiranya yang demikian bisa mewakili dari sejumlah karya-karya yang dihasilkan ibn Taimiyyah.
G.    KONSEP AL-QURAN
1.      Pengertian
Dalam pandangan Ibn Taimiyah, al-Quran merupakan kalam Allah yang sebenarnya, bukan yang lainnya atau majazi, yang diturunkan kepada Muhammad saw sebagai petunjuk bagi manusia yang wajib diikuti sekaligus merupakan dalil aksiomatik yang tidak boleh dibantah dengan alasan apapun. Allahlah yang berfirman dengan al-Qurandan dari Dia al-Quran itu diperdengarkan. Allah tidak menciptakan al-Quran di luar Zat-Nya dan teks al-Quran serta Sunnah bukan hanya berita semata, melainkan sebagai petunjuk, penjelas bagi manusia dan ia adalah satu-satunya pedoman yang dipakai berhukum pertama kali.[15] Pemaknaan Ibn Taimiyah ini hampir mirip dengan perkataan Imam Thahawi rahimahullah[16], yaitu Beliau berkata: “Sesungguhnya al-Qur`an adalah kalam Allah, dari-Nya ia muncul sebagai perkataan, tanpa boleh dipertanyakan kaifiyah (bentuk)nya”.
Artinya bahwa, pandangan ibn Taimiyah ini al-Quran merupakan perkataan Allah yang sebenarnya bukan dalam arti majazi sebagaiman pendapat yang lainnya yang mengatakan kalam Allah itu hanya pada ma’na saja yang ada pada Zat Allah, sedangkan teks yang dibaca itu hanyalah ungkapan tentang ma’na yang ada pada Zat Allah.
2.      Kedudukan al-Quran
Ibn Taimiyah dalam pemikirannya, menjadikan al-Quran sebagai paradigma utama dan paling utama dan mewajibkan untuk berhukum dengannya. Bahkan ia mengatakan Al-Qur`an adalah “imam” (pemimpin) yang harus selalu diikuti, oleh karenaya al-Qur`ansama sekali tidak menyalahi pendapat akal, qiyas, perasaan dan instink. Orang yang menyalahi al-Qur`an baik dalam tindakan atau pun ucapan dan pendapat yang keliru melalui akal, sudah dikatagorikan kufur. Berdasarkan konsep-konsep yang sangat keras tentang al-Qur`an, maka tak heran dengan sikapnya yang sangat keras, menentang orang-orang yang dengan sengaja meremehkan al-Qur`an, diantara para filosuf yang beranggapan bahwa al-Qur`an tidak lain hanyalah berisi dalil-dalil yang tidak pasti . Dengan demikian, tidak heran kalau dalam rumusan fikirnya bermaksud mengembalikan manusia kejalan al-Quran sebagaimana jalan yang dilalui Nabi dan generasi Sahabat pengikutnya[17].
Dalam memahami al-Quran, ibn Taimiyah menegaskan pengaplikasian wahyu lebih diutamakan ketimbang akal itu sendiri. Walaupun akal pun memiliki peran, hanya sanya possisinya lebih sedikit dibandingkan wahyu. Akan tetapi pada kebanyakan ibn Taimiyah berusaha menyelaraskan antara akal wahyu. Untuk menghilangkan pertentangan antara keduanya, Ibnu Taimiyah juga mengakui akal sebagai unsur yang berdiri sendiri di dalam unsur aqidah dan tidak pula akal itu mempunyai kekuatan untuk mengahadapi seluruh urusan agama, sehingga mengesampingkan nas al-Qur`an. Adapun peranan akal menurutnya adalah akal harus memahami al-Quran tampa menorah hal hal yang baru. Hal ini dikarnakan Islam telah lahir secara sempurna dan tidak memerlukan penambahan dalam kaitannya dengan ajaran al-Quran. Maka, akal hanyalah diberi wewenang untuk memikirkan bukti-bukti dan dali-dalil tesebut. Taimiyah dalam memahami al-Qur`an, Ia memaknakannya sebagai sesuatu yang dibawa Rasul dan telah menunjukkan kepada segala sesuatu yang termasuk akal dan kelak menunjukkan kepada jalan yang baik. Dengan demikian, sebagai konsekuensi logisnya adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran dalam pandangan teks dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah dan menyesatkan.
3.      Isi al-Quran
            Ibn Taimiyah dalam hal ini dengan tegas menyatakan bahwa al-Quran secara keseluruhan mengandung ayat-ayat muhkamat dan hampir tidak ada ayat-ayat yangmutasyabih. Bahkan sebagaimana yang dinyatakan sendiri dalam Kitabnya Tafsir Kabir, bahwa ayat-ayat Al-Quran semuanya adalah Muhkamat dan ayat Mutasyabihat itu tidak ada[18]. Intinya bahwa ayat-ayat al-Quran itu sudah jelas dan memang harus dimaknai seperti teksnya tampa harus memaksakan diri dengan sesuatu yang memang manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencari tau akan hal itu. Dan implikasi dari pemahaman ini, maka kita sering menemukan pemahamannya dalam memahami ayat dengan apa adanya semisal Allah bersemayam, Allah punya tangan, mata dan sebagainya.
Kaitannya dengan itu, kandungan isi al-Quran menurutnya sudah sempurna dan mencakup semua masalah Syar’i dengan segala cabangnya, usuludin dengan segala cabangnya, akhlak dan cabangnya dengan jelas dan rinci serta kisah-kisah. Dengan demikian tidak memungkinkan untuk dimaknai secara berlebihan dengan memiwali teks al-Quran itu sendiri.
4.      Kemu’jizatan al-Quran
Seiring dengan berkembangnya intlektualitas manusia, dari zaman ke zaman yang kemudian berpengaruh sekali terhadap pemaknaan al-Quran itu sendiri sebagai kitab yang penuh dengan mukjizat. Kemu’jizatan al-Quran ini sendiri oleh kaum muslimin secara umum diakui adanya tampa banyak pertentangan yang menyelimutinya. Terlebih lagi ketika Allah meligitimasi al-Quran dengan jaminan penjagaan-Nya yang tiada mampu manusia satupun untuk mencegahnya. Dan ini merupakan satu keunggulan dari kitab kitab sebelumnya sebagaimana yang diturunkan pada Nabi terdahulu.
Namun kemudian titik mu’jizat inti dalam al-Quran itu sendiri manusia masih berselisih terkait dengan penguasaan ilmu yang dimiliki masing masing atau dengan aliran yang mengikatnya. Di sinipun terjadi hegemonisasi superior-inferior antar sesama muslim. Namun yang jelas al-Quran dilihat dari sisi mana saja, ia tetep memperlihatkan sisi kemu’jizatan itu sendiri bahkan bila tidak, itu menujjukan satu kekurangan bagi al-Quran. Dengan demikmian, al-Quran secara keseluruhannya mengandung mu’jizat baik sisi teks dan konteks serta hal-hal yang terkait dengan rahasia rahasia al-Quran.
Kaitannya dengan itu, ibn Taimiyah dalam rumusan pemikirannya telah menggaris bawahi bahwa kemu’jizatan al-Quran tidak hanya terletak pada itu saja
Ibnu Taimiyyah justru memandang bahwa kemukjizatan Alquran terletak pada aspek yang beliau sebut dengan ayat, bayyinah dan burhan. Al-uran adalah ayat, bayyinahdan burhan bagi umat manusia seluruhnya. Tiga aspek inilah yang Ibnu Taimiyyah sebut dengan inti kemukjizatan Al-Quran[19]. Namun ia menambahkan, sebenarnya tidak ada kata mu’jizat dalam al-Quran melainkan yang ada hanya istilah ayat bayyinahdan burhan. Ia melandaskan pada ayat 174 dari surat an-Nisa’ yakni :
$pkš‰r’¯»tƒ â¨$¨Z9$# ô‰s% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§‘ !$uZø9t“Rr&ur öNä3ö‹s9Î) #Y‘qçR $YYÎ6•B ÇÊÐÍÈ
Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).
Begitu juga dengan para Nabi, mereka tidak memiliki mu’jizat melainkan mereka memiliki ayat bayyinan dan burhan itu sendiri. misalnya dalam surat al-An’am: 124
#sŒÎ)ur öNßgø?uä!%y` ×ptƒ#uä (#qä9$s% `s9 z`ÏB÷sœR 4Ó®Lym 4’tA÷sçR Ÿ@÷VÏB !$tB u’ÎAré& ã@ߙ①«!$# ¢ ª!$# ãNn=ôãr& ß]ø‹ym ã@yèøgs† ¼çmtGs9$y™Í‘ 3 Ü=ŠÅÁãy™ tûïÏ%©!$# (#qãBtô_r& î‘$tó|¹ y‰YÏã «!$# Ò>#x‹tãur 7‰ƒÏ‰x© $yJÎ/ (#qçR%x. tbrãä3ôJtƒ ÇÊËÍÈ
124. apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: “Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada Kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah”. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.
Dari sini kita lihat bahwa Ia cenderung memperlakukan Al-Quran bukan pada materi dan simbol-simbol Al-Quran, tapi lebih pada paparan pesan Al-Quran untuk umat manusia secara keseluruhan.
H.    KONSEP TAFSIR
1.      Pengertian
Sebenarnya kita belum mendapatkan definisi yang jelas mengenai tafsir oleh ibn Taimiyah. Ini semua tidak terlepas dengan adanya perbedaan pendapat mengenai keharusan mendifinisikan istilah tafsir atau tidak. Karna satu sisi tafsir itu adalah penjelas, dan ini pun hampir sama dengan takwil. Namun demikian dari pemikiran ibn taimiyah yang cenderung mengartikan al-Quran sebagai kitab bayyinan dan burhan itu berarti tafsir itu hanyalah penjelas saja. Lebih jelasnya ibn Taimiyah mengatakan tafsir adalah sinonim kata ta`wil yang berarti menjelaskan makna pembicaraan, baik makna tersebut sesuai dengan lahiriah pembicaraan itu atau tidak.
Tafsir dengan pengertian ini termasuk jenis pembicaraan dalam arti menjelaskan pembicaraan dengan pembicaraan lain yang menjelaskannya dan juga termasuk jenis ilmu. Di sini tampaknya ibn Taimiyah menyamakan istilah tafsir dengan takwil, namun sebenarnya kalau kita cermati sinonimitas yang diungkapkan ibn taimiyah itu sebenarnya memiliki perbedaan yang mendasar. Oleh karena itu tafsir oleh ibn Taimiyah mengatakan memiliki tiga wujud yakni dalam pikiran, dalam lisan dan dalam tulisan. Simpulannya bahwa ibn Taimiyah secara umum belum memberikan batasan pengertian mengenai tafsir karna ia hanya mengartikannya sebagai bayyinan danburhan dan ini sama dengan takwil
2.      Prinsip dan Metodologi Penafsiran
Mencermati kajian tafsir yang disemarakkan ibn Taimiyah kita akan menemukan adanya rumusan-rumusan yang berbeda dari lainya tatkala menafsirkan al-Quran. Rumusan ini sudah barang tentu menjadi satu konsekuensi beliau dalam merevlisasi ajaran Islam dengan tetap bersandar pada teks-teks al-Quran itu sendiri. Menurutnya dalam koteks penafsiran, al-Qur`an adalah suatu kemestian yang mengungguli segala bentuk penafsiran terhadap teks-teks selain al-Qur`an. Menurutnya lagi dari setiap perkataan, pemahaman makna-lah yang menjadi target utama, bukan konstruksi lafaz dan redaksi. Adat kebiasaan juga menunjukan bahwa sebuah komunitas yang membaca sebuah karya tertentu seperti kedokteran dan ilmu hitung mesti menuntut atau mencari penjelasan . Al-Qur`an jelas lebih dari itu. Pemahaman akan maknanya merupakan kebutuhan mendesak bagi umat Islam, karena, dia adalah pegangan hidup dan jalan keselamatan baik di dunia dan di akhirat sebagaimana disyaratkan dalam al-Qur`an.
Prinsip-prinsip ibn Taimiyah dalam menapsirkan al-Quran ini tetap merujuk pada teksal-Quran itu sendiri baru kemudian merujuk pada khabar sahabat dan atsar tabiin. Lebih jauh lagi Ibn Taimiyah menjelaskan, bahwa penafsiran al-Quran itu meliputi semua komponen ayat termasuk yang tegolong mutasyabihat bila orang menyebutnyamutasyabihat. Diantara prinsip prinsip tersebut adalah ;
a)      Tidak menggunakan nalar sebagai sumber yang mutlak dalam menentukan hukum.
b)      Tidak berpihak hanya pada satu pendapat saja, bagi Ibnu Taimiyah tidak seorangpun memiliki kedudukan kecuali baginya bersumber dari al-Qur’an, as-Sunnah dan Atsar para ulama salaf yang mengikuti Nabi saw.
c)      Syari’ah itu bersumber dari al-Qur’an, nabi Muhammadlah yang menjelaskan dan memperaktekkannya kepada umat terlebih kepada para shahabat pada masa Nabi saw. Sehingga bagi orang yang mengikuti Nabi saw. lewat tafsir, penjelasan, dan penyampaian para shahabat berarti merekalah sejatinya orang-orang yang mengikuti syari’at Allah dari nabi Muhammad saw. merekalah (para Sahabat) yang menjaga ajaran Nabi saw. karena mereka yang langsung mendengar dan memahami Syari’at Allah langsung dari Nabi saw. begitupun para Tabi’in yang mendapatkan penyampaian dan pemahaman langsung dari para sahabat.
d)     Ibnu Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu Taimiyah selalu melepas dirinya dari segala apa yang mengikatnya, kecuali yang sesuai dengan al-Qur’an, Sunnah dan Atsar Salaf.
Dalam kaitannya dengan metodologo Taimiyah, Ia sering meguatkan dengan bukti dalil dalil dari al-Quran dan Sunnah, kemudian mendekatkan sunnah dengan nalar, menggunakan dan menentukan nalar hanya sekedar untuk nasihat bukan untuk gubahan, dan pendekatan bukan untuk petunjuk. Oleh karena itu, kita akan menemukan dan menentukan sebuah kesatuan sifat, tanda dan kepribadian yaitu kesatuan dalam satu metodologi saja.
Beberpa metodologi penafsiran yang dilakukan ibn Taimiyah sebagai berikut[20] :
a)      Tafsirul Quran bil Quran
b)      Tafsirul Quran bis Sunnah
c)      Tafsirul Quran biqaulis Shohabah
d)     Tafsirul Quran biqaulit Tabi’in
Penggunaan metode ini tentu bukan asal asalan, melainkan dengan satu keyakinan dan konsisten terhadap apa yang menjadi jalan kita itu sendiri. Disamping itu dalam keyakinan Taimiyah, Beliau Nabi saw tidak terlewatkan oleh satu ayat pun melainkan beliau sampaikan pada pengikutnya dengan penjelasan yang sangat gamblang dan tidak menyisakan pertanyaan lagi. Begitu pula para sahabat, mereka adalah generasi pertama dan juga generasi terbaik Islam, yang mengetahui peristiwa turunnya wahyu dan mendengar secara langsung penjelasan-penjelasan Rasul atas wahyu-wahyu Allah yang telah diturunkan kepadanya.
Al-Qur`an sebagai sumber penafsiran berarti menafsirkan ayat al-Qur`an dengan ayatal-Qur`an yang lain. Ayat al-Qur`an dalam penunjukannya terhadap makna dibatasi, ada yang umum dan khas. Karena itu, orang yang akan menafsirkan al-Qur`anhendakalah pertama merujuk pada al-Qur`an itu sendiri.
3.      Apilkasi Penafsiran
Menurut Ibnu Taimiyyah, hendaklah menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dalam satu tema, selanjutnya bandingkanlah antara ayat yang satu dengan yang lainya . Ibnu Taimiyyah juga menyarankan agar orang yang akan menafsirkan al-Qur`an terlebih dahulu mengenali dan mencermati bahasa al-Qura`n dan penggunaanya dalam berbagai ayat. Jangan berpaling dulu pada bahasa Arab dalam konteks umum, tetapi berpaliglah pada bahasa Arab dalam konteks khusus, yaitu konteks al-Qur`an. Jangan pula menengok kitab-kitab kamus, filsafat dan kalam sebelum menengok al-Qur`an.
Beberapa contoh penafsiran ibn Taimiyah yang dimaksud, dalam hal ini kami rangkai dalam beberapa tema berdasarkan metodologi yang digunakan :
a)      Teori tafsir quran bil-quran
Misalnya dalam menafsirkan ayat pernikahan dengan orang yahudi dalam surat al-Bqarah(2):221
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³•B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í`ÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³•B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9′ré& tbqããô‰tƒ ’n<Î) Í‘$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããô‰tƒ ’n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.x‹tGtƒ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Permasalahnnya adalah pada boleh tidaknya menikahi wanita Yahudi atau Nasrani, yang kemudian berimplikasi pada apakah orang Yahudi dan nasrani termasuk Musyrik?
Di sini ibn Taimiyah menjelaskan kebolehan menikahi wanita tersebut boleh dengan mengambil firman Allah surat al-maidah(5):5
tPöqu‹ø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh‹©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èdu‘qã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur ü“É‹Ï‚ GãB 5b#y‰÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ô‰s)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur ’Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# Ç
pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Di samping itu, Ia menegaskan bahwa ahlul Kitab itu tidak termasuk musyrik. Hal ini Beliau dasarkan pada firman Allah surat al-Baqarah (2):62
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3“t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& y‰YÏã óOÎgÎn/u‘ Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRt“øts† ÇÏËÈ
62. Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah hari kemudian dan beramal saleh mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Pun misalnya dalam surat Fatihah, kata ihdina as-Shirat al-Mustaqim beliau beliau mengutif sejumlah ayat yang cakupannya mengenai hidayah dan as-Shirat al-Mustaqim. Dengan demikian kata tersebut Beliau tafsirkan sebagai tafsiran al-Quranberdasarkan QS. Al-An’am(6):153[21], kemudian bisa juga dengan agama Islamberdasarkan QS. Ash-Shaf (37):117-118[22], dan bisa juga dengan jalan ibadah kepada Allah berdasarkan QS. Al-Fath (48):1-3[23]. Dll
b)      Tafsirul Quran bis Sunnah
                        Misalnya ketika menafsirkan surah al-Fatihah, اهد نا الصراط المستقيم beliau mengutip hadis Nabi Saw dari `Abdullah ibnu Mas`ud yang berbunyi: Bahwa Nabi Muhammad saw membuat sebuah garis, lalu membuat beberapa garis lagi di kanan dan dikirinya, kemudian berkata, “Ini sabillah dan yang ini jalan-jalan yang diatasnya terdapat syaitan-syaitan yang menyeru kepadanya. Siapa memenuhi panggilan Syaitan ia dilemparkan ke dalam neraka”. Lalu beliau membaca ayat وان هذا الصرطى المستقيما (al-An`am: 153).
            Begitu juga dalam menafsirkan doa dari ayat QS. Al-Baqarah (2):286
….3 $oY /u‘ Ÿw !$tRõ‹Ï{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù’sÜ÷zr& 4 $oY /u‘ Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ /u‘ Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö‘$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù ’n?tã ÏQöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇÑÏÈ
286. ……(mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.”
 Ia mengutip semua hadis yang diriwayatkan at-Turmuzi dengan mengemukakan keutamaan doa itu sendiri.
c)      Tafsirul Quran biqaulis Shohabah
      Selanjutnya dalam menafsirkan potongan surat an-Nas, Beliau merujuk kepada sahabat Nabi yang bernama Ma`mar dari Qatadah mengenai lafaz “minal Jinnati wannas” bahwa “Sesungguhnya di kalangan Jin terdapat syetan-syetan. Karena itu kita mohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan-syaitan golongan manusia dan golongan Jin”. Selanjutnya Qotadah menjelaskan mengenai pengertian ayat diatas bahwa permohonan perlindungan dari syaitan-syaitan golongan jin dan golongan manusia.
d)     Tafsirul Quran biqaulit Tabi’in
Kemudian dalam pada itu, dalam menafsirkan al-Qur`an beliau merujuk kepada perkataan tabi`in. Ia berasumsi bahwa tabi`in mendapatkan keterangan al-Qur`an dari para sahabat Nabi, sedangkan para sahabat telah mendapatkannya dari Rasulullah Saw. Jadi, penafsiran mereka bersambung sampai ke Rasullah Saw dengan jalan yang kuat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Mujahid, sesungguhnya dia pernah berkata, “saya perlihatkan suhuf (Al-Qur`an) kepada Ibn `Abbas tiga kali, dari pembukuannya sampai dengan penutupannya, setiap ayat saya berhenti dan minta keterangan tentang makna ayat tersebut”.
Namun demikian, Ibnu Taimiyyah tidak selamanya merujuk ke Penafsiran tabi`in kecuali apabila penafsiran tabi`in itu dengan penafsiran bil ma`sur. Ia berhenti menafsirkan jika tidak menemukan yang diriwayatkan para sahabat dan tabi`in. Terkadang juga Ibnu Taimiyyah dalam menafsirkan al-Qur`an menggunakan akal, beliau berasumsi bahwa antara wahyu dan akal tidak berseberang. Artinya bahwa, ketika sejumlah jawaban dari Rasulullah, Sahabat, Tabiin dalam konteks penafsiran tidak beliau temukan, maka beliau berpendapat dengan pendapatnya sendiri tampa terpengaruh oleh pendapat orang lain.
4.      Karatristik Penafsiran
Dalam hal tafsir, ibn Taimiyah pernah menjelaskan seperti ini, bahwa tafsir itu memiliki empat golongan atau model: pertama tafsir yang diketahui oleh bangsa Arab terkait dengan penurunan al-Quran dengan bahasa mereka, kedua tafsir al-Quran yang dapat diketahui oleh sesorang dengan kadar keilmuannya, ketiga tafsir yang hanya difahami oleh Ulama’ dan yang ke empat tafsir yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah.[24]
Ciri pokok yang dapat kita amati secara keseluruhan dalam menafsirkan al-Quran adalah sebagai berikut :
a)      Melihat satu surat dengan satu kesatuan yang utuh
Dalam konteks penafsiran ayat, Ibn Taimiyah terlebih dahulu menjelaskan kekdudukan ayat tersebut, misalnya surat al-Fatihah beliau menyebutnya sebagai Ummul Kitab, Fatihatul KiTAB, as-Sab’ul Matsani, al-Wajibah fis-Sholah, al-Kaifiyyah. Setelah itu, baru menjelaskan keutamaan surat tersebut, pokok-pokok kandungannya dan mengorientasikan penafsiran penafsiran pada ayat yata yang kiranya membutuhkan penafsiran serta menjelaskan hubungan ayat tersebut dengan ayat yang lainya. Dalam surat al-Ikhlash misalnya, terlebih dahulu beliau menjelaskan perbedaan penggunaan kata Ahad & as-Shomad. Dimana masing masing memliki perbedaan dalam penulisan,as-Shomad bi alif Lam wa Ahad bidunihi. Menurutnya penggunaan kata Ahad, tidak boleh disifatkan selain pada Allah, kalaupun boleh harus dibarengi dengan huruf nafyi.
b)      Menekankan sumber al-Quran sebagai sumber akidah
Kembali dalam menafsirkan al-Fatihah tadi, ibn Taimiyah menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang disembah. Lafal Allah tersebut lebih tepat digunakan dalam konteks beribadah, dengan demikian dikatakan : Allahu Akbar, walhamdulillah, Subhanallah, La Ila ha Illallah dll. Sedangkan kata ar-Rab adalah yang memelihara, mencipta, memberi, menolong serta memberi petunjuk. Oleh karna itu, lafal tersebut lebih tepat digunakan dalam konteks berdoa, dengan demikian ,surat al-Fatihah tersebut mengandung tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah.
c)      Teliti dalam memahami redaksi ayat dan lafal lafalnya
d)     Pembasan ayat yang luas dengan ayat yang serupa
Misalnya dalam menafsirkan kalimat “matsal” dalam QS.(2):17,

Tinggalkan komentar